-->

Rabu, 23 Januari 2013


 
BAB I
JUAL BELI


A.          Pengertian
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
Ø  Menurut ulama Hanafiyah: [1])
Jual beli adalah ”pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
Ø  Menurut Imam Nawawi[2]) dalam Al-Majmu’ :
Jual beli adalah ”pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
Ø  Menurut Ibnu Qudamah[3]) dalam kitab Al-mugni ‘ :
Jual beli adalah ”pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”

Pengertian lainnya Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak (dirham).

B.           Landasan atau Dasar Hukum Jual Beli
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini di syariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1.      Al Qur’an, yang mana Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah, 2: 198 :

2.      Sunnah Nabi, yang mengatakan:
Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadist di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

3.      Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

Mengacu kepada ayat-ayat  Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah, misalnya dalam jual beli barang yang hukum menggunakan barang yang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi.

Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga. Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan.

Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan itu hukumnya makruh  seperti rokok
BAB II
RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI


Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).
a.      Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :
1.      Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
2.      Baliqh, jual belinya anak kecil yang belum baliqh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan baik atau buru), dibolehkan melakukan jual beli terhadap barang-barang yang harganya murah seperti : Permen, Kue, Kerupuk.
3.      Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan harta milik orang yang sangat bodoh(idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah ( Q.S. An-Nisa’(4): 5):

b.      Sigat atau Ucapan Ijab dan Kabul.
Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul  (dari pihak pembeli). Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah :
1.      Orang yang mengucap ijab kabul  telah akil baliqh.
2.      Kabul  harus sesuai dengan ijab.
3.      Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.

c.   Barang yang Diperjual-belikan
Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain :
1.   Barang yang diperjual-belikan itu halal.
2.   Barang itu ada manfaatnya.
3.   Barang itu ada ditempat, atau tidakada tapi ada ditempat lain.
4.   Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
5.   Barang itu hendaklah diketahuioleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.

d.   Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa uang).
Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah :
1.   Harga jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2.   Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
3.   Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang.        


                                                                        BAB III
                                                            JUAL BELI AS-SALAM


A.     Pengertian
As-salam atau As-shalaf adalah pembayaran di muka dan penyerahan barang di kemudian hari, yang terdefinisi oleh para fuqaha sebagai ”akad jual beli atas sesuatu yang disebutkan kriterianya dalam akad, dan yang dijanjikan akan diserahkan pada waktunya yang ditentukan nanti kepada pembeli, dengan bayaran yang diserahkan pada saat transaksi”. Firman Allah Swt dalam surat al-baqarah  ayat 282 yang membolehkan transaksi ini :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai umtuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”(Q.S Al-Baqarah (2) :282)
Ibnu Abbas berkata terkait dengan ayat ini:Aku bersaksi bahwa As salaf yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar dihalalkan Allah di dalam kitabullah dan diizinkan. Kemudian beliau membacakan surat Al-Baqarah ayat 282 seperti di atas.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW datang ke Madinah di mana mereka melakukan jual beli As salaf untuk penjualan buah-buahan dengan waktu satu tahun atau dua tahun. Lalu rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melakukan salaf, hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu.”
B.        Syarat-syarat Jual Beli As Salam
Syarat-syarat yang berlaku pada jual beli secara umum juga terkait dengan syarat-syarat jual beli Salam. Diantaranya adalah persyaratan untuk pembayaran dan barang yang diperjual belikan.
1. Syarat-syarat pembayaran
*      Diketahui dengan jelas jenisnya.
Misalkan ingin membeli ikan, makan harus diperjelas ikan jenis ikannya, apakah ikan emas, ikan mujair. Atau ikan yang lainnya.
*      Diketahui dengan jelas kadarnya.
Setelah jelas jenis ikannya, maka harus jelas juga kadar pembeliannya, apakah 1 kilo, 2 kilo, atau kadar lainnya.
*      Diserahkan dalam majelis.
Ijab qabul dilakukan setelah kesepakatan bertemu dengan kesesuaian barang dan nilainya.

2. Syarat-syarat barang yang diperjual belikan
*      Bahwa barang tersebut berada dalam tangungan.
Barang kali ada yang teringat dengan sebuah hadits dalam sunan  Ahmad dan Tirmidzi ketika Rasulullah SAW mengatakan: “Jangan menjual apa yang tidak ada padamu”. Dalam hal ini, pelarangan tersebut tidak berlaku pada jual beli salam karena makna dari “apa yang tidak ada padamu” adalah sang penjual tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi janjinya, sedangkan persyaratan dalam jual beli Salam adalah sang penjual harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kriteria yang disepakati bersama. Jika ternyata diakhir waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang mengakibatkan rusaknya barang tanpa unsure kesengajaan, sehingga tidak memenuhi kriteria pemesanan, maka pembicaraan dalam musyawarah antara penjual dan pembeli perlu dilakukan.
*      Barang tersebut memiliki kriteria yang bisa memberikan kejelasan kadar dan sifat-sifatnya yang membedakannya dengan yang lain agar tidak mengandung gharar dan terhindar dari perselisihan.
*      Batas waktu diketahui dengan jelas.

     Akan tetapi di dalam jual beli Salam tidak disyaratkan bahwa barang harus ada pada si        penjual, yang terpenting adalah barang tersebut ada pada waktu yang telah ditentukan bersama. Ketika barang tersebut tida ada pada saat yang dijanjikan, maka akadnya menjadi rusak.Imam Bukhari meriwayatkan dari Muhammad bin al Mujalid, bahwa ia berkata: “Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah mengutusku menemui Abdullah bin Abi Aufa, mereka mengatakan: Tanyakan padanya, apakah para sahabat Nabi pada zaman Nabi SAW pernah melakukan Salaf (jual beli salam) untuk gandum?”.
Abdullah bin Abi Aufa menjawab: “Dahulu kami melakukan salaf dengan para petani   penduduk Syam untuk gandum dan minyak dalam takaran yang diketahui jelas dan waktu yang jelas”. Aku tanyakan lagi,”Dari mana asal barang yang ada padanya?”, Abdullah bin Abi Aufa menjawab,”Kami tidak menanyakan hal tersebut”.
Kemudian kedua orang itu (Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah) mengutusku untuk menemui Abdurrahman bin Abza untuk menanyakan hal yang sama. Ia menjawab,”Para sahabat Nabi dahulu pada zaman nabi pernah melakukan salaf tetapi mereka tidak menanyakan penjualnya, apakah mereka memiliki ladanmg ataukah tidak.”[4]
C.    Fatwa Tentang Jual Beli As salam
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 05/DSN-MUI/IV/2000
Tentang JUAL BELI SALAM
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM

Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran
*      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
*      Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
*      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
*       
Kedua : Ketentuan tentang Barang
*      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
*      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
*      Penyerahannya dilakukan kemudian.
*      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
*      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
*      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:
a. Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya
*      Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
*      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
*      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
*      Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
*      Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.



Keenam
: Perselisihan
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 200






           BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
     Sesuatu hal yang sering kita lupakan menjadi hal yang dapat merusak nilai amalan yang kita lakukan jual beli, jadi hal upaya tentang penulisan ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli, khiyar, dan jual beli As-salam. Agar terciptanya lingkungan ekonomi perdagangan islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat.
           Untuk itu penulis menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatan yang bersifat kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untuk mensejahterakan kehidupan rakyat terutama dalam bidang perekonomian. Karena manusia ini adalah makhluk sosial, jadi diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk mengenai jual beli islam ini sudah dapat dilihat dalam bab-bab makalah ini.


B.  Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apa-apa saja mengenai hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang terkait tentang hubungan jual beli yang baik antara penjual juga pembeli, sehingga dapat mendorong munculnya penulisan makalah yang sejenis dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan jual beli.

DAFTAR PUSTAKA


   Rahmat Syafe’i MA, Prof., Dr., 2004, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung.
Wahbah Al-Juhaili, 1989, Al-fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Dar Al-Fikr.
Rambe, Nawawiah, Drs, 1994, Fiqih Islam, Duta Pahala, Jakarta.
            http//:Sang Gelombang.Word Press.com

            http//:kopersisyariah.com
                       


[1] )   Alaudin Al-Kasyani, Badai’ Ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syarai’. Juz V, Hlm. 133
[2] )  Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj. Juz II, hlm. 2
[3] )  Ibnu Qudamah, Al-Mugni. Juz III, hlm. 559
[4] http//:Sang Gelombang.Word Press.com



Baca Artikel Terkait: