-->

Minggu, 22 Januari 2023




KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM








A. PENDAHULUAN
Setiap kegiatan ilmiah memerlukan suatu perencanaan dan organisasi yang dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur. Demikian pula dalam pendidikan, diperlukan adanya program yang terencana dan dapat menghantar proses pendidikan sampai pada tujuan yang diinginkan. Proses, pelaksanaan, sampai penilaian dalam pendidikan lebih dikenal dengan istilah “kurikulum pendidikan”.[1]
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Setiap pendidik harus memahami perkembangan kurikulum, karena merupakan suatu formulasi pedagogis yang paling penting dalam konteks pendidikan, dalam kurikulum akan tergambar bagaimana usaha yang dilakukan membantu siswa dalam mengembangkan potensinya berupa fisik, intelektual, emosional, dan sosial keagamaan dan lain sebagainya.
Dengan memahami kurikulum, para pendidik dapat memilih dan menentukan tujuan pembelajaran, methode, tekhnik, media pengajaran, dan alat evaluasi pengajaran yang sesuai dan tepat. Untuk itu, dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan sistem pendidikan ditentukan oleh semua pihak, sarana dan organisasi yang baik, intensitas pekerjaan yang realistis tinggi dan kurikulum yang tepat guna. Oleh karena itu, sudah sewajarnya para pendidik dan tenaga kependidikan bidang pendidikan Islam memahami kurikulum serta berusaha mengembangkannya.
Pada telaah pembahasan makalah ini akan dibahas kurikulum pendidikan Islam, artinya kurikulum yang digunakan pada pendidikan Islam.


B. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
1. Karakteristik Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam memiliki ciri-ciri umum, sebagai berikut:
a. Agama dan akhlak merupakan tujuan utama. Segala yang diajarkan dan di amalkan harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijtihad para ulama.
b. Mempertahankan pengembangan dan bimbingan terhadap semua aspek pribadi siswa dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan spiritual.
c. Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman serta kegiatan pengajaran.[2]


Disamping itu kurikulum pendidikan Islam juga memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya:
1. Dalam kurikulum pendidikan Islam, tujuan utamanya adalah pembinaan anak didik untuk bertauhid. Oleh karena itu, semua sumber yang dirunut berasal dari ajaran Islam.
2. Kurikulum hrus disesuaikan dengan fitrah manusia, sebagai makhluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhan.
3. Kurikulum yang disajikan merupakan hasil pengujian materi dengan landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Mengarahkan minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan akliah anak didik serta keterampilan yang akan diterapkan dalam kehidupan konkret.
5. Pembinaan akhlak anak didik, sehingga pergaulannya tidak keluar dari tuntunan Islam, dan
6. Tidak ada kadaluarsa kurikulum karena ciri khas kurikulum Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman bahkan menjadi filter kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapannya di dalam kehidupan masyarakat.[3]
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa sebagai inti dari ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum yang dapat memotivasi siswa untuk berakhlak atau berbudi pekerti luhur, baik terhadap Tuhan, terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.


2. Orientasi Kurikulum Pendidikan Islam
Menurut pandangan modern, kurikulum lebih dari sekedar rencana pelajaran atau bidang studi. Kurikulum dalam pandangan modern ialah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[4] Oleh karena itu, pada dasarnya, orientasi kurikulum pendidikan pada umumnya dapat dirangkum menjadi lima, yaitu:
a. Orientasi pada pelestarian nilai-nilai
Dalam pandangan Islam, nilai terbagi atas dua macam, yaitu nilai yang turun dari Allah Swt. Yang disebut dengan nilai Ilahiyyah, dan nilai yang tumbuh dan berkembang dari peradaban manusia sendiri yang disebut dengan nilai Insaniyyah. Kedua nilai tersebut selanjutnya membentuk norma-norma atau kaidah-kaidah kehidupan yang dianut dan melembaga pada masyarakat yang mendukungnya.
Di sisi lain, nilai-nilai pada suatu masyarakat mengalami perubahan dan pergeseran dengan nilai-nilai lain. Perubahan dan pergeseran nilai masyarakat, menurut Amien Rais M., dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Konservatif, mengarah pada pelestarian nilai-nilai lama yang sudah mapan, sungguhpun nilai itu irasional.
2) Radikal-revolusioner, mengarah pada pencabutan semua nilai sampai akar-akarnya, karena pelestarian nilai lama itu mengakibatkan stagnasi sosial, iptek, dan lain-lainnya, sehingga klasifikasi ini cendrung pada “Change for the sake change” yakni mengubah asal mengubah.
3) Reformis, mengarah pada perpaduan antara konservatif dan radikal-revolusioner, yakni perubahan dan pergeseran nilai dengan perlahan-lahan sesuai tuntunan Rasulullah SAW.
b. Orientasi pada kebutuhan social (social demand)
Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang ditandai oleh munculnya berbagai peradaban dan kebudayaan, sehingga masyarakat tersebut mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat walaupun perkembangan itu tidak mencapai pada titik kulminasi. Orientasi kurikulum adalah bagaimana memberikan kontribusi positif dalam perkembangan social dan kebutuhannya, sehinga output di lembaga pendidikan mampu menjawab dan mengejawantahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
c. Orientasi pada tenaga kerja
Manusia sebagai makhluk biologis memiliki unsur mekanisme jasmani yang membutuhkan kebutuhan-kebutuhan lahiriah, misalnya sandang, pangan, dan papan (QS. Al-Baqarah: 77, QS. Al-Kahfi: 82), dan kebutuhan biologis lainnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara layak dan salah satu diantara persiapan untuk pemenuhannya yang layak adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan, pengalaman dan pengetahuan seseorang dapat bertambah dan dapat menentukan kualitas dan kuantitas kerjanya. Hal ini karena dunia kerja dewasa semakin banyak saingan dan jumlah perkembangan penduduk tidak seimbang dengan penyediaan lapangan kerja. Sebagai konsekuensinya kurikulum pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
d. Orientasi pada peserta didik
Orientasi ini memberikan kompas pada kurikulum untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang disesuaian dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Untuk merealisasikan orientasi pada kebutuhan peserta didik, Benjamin S. Bloom, mengemukakan taksonomi dengan tiga domain yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
e. Orientasi pada masa depan dan perkembangan IPTEK
Kemajuan suatu zaman ditandai oleh kemajuan suatu ilmu pengetahuan dan teknologi serta produk-produk yang dihasilkannya. Hampir semua kehidupan dewasa ini tidak lepas dari keterlibatan IPTEK, mulai dari kehidupan yang paling sederhana sampai pada kehidupan dan peradaban yang paling tinggi. Melihat kondisi seperti itu, tuntutan kita selanjutnya adalah membuat dan mengaplikasikan kurikulum pendidikan yang selaras dengan kemajuan IPTEK.
f. Orientasi penciptaan lapangan kerja[5]
Orientasi ini tidak hanya memberikan arahan kepada kurikulum bagaimana menciptakan peserta didik yang terampil agar dapat mengisi lapangan kerja didalam masyarakat, tetapi mengingat terbatasnya lapangan kerja, maka kurikulum hendaknya dapat pula menciptakan peserta didik yang dapat membuat lapangan kerja baru yang dapat menyerap tenaga kerja terutama dirinya dan orang lain. Dengan orientasi ini maka hidupnya tidak menggantungkan diri kepada orang lain, bahkan orang lain yang menggantungkan hidup kepadanya.


3. Isi Kurikulum Pendidikan Islam
Fine dan Crunkitton menyatakan bahwa ada beberapa factor yang perlu diperhatikan dalam perumusan isi kurikulum pendidikan, yaitu:
a. Waktu dan biaya yang tersedia
b. Tekanan internal dan eksternal
c. Persyaratan tentang isi kurikulum dari pusat maupun daerah
d. Tingkat dari isi kurikulum yang akan disajikan


Untuk menentukan kualifikasi isi kurikulum pendidikan Islam, dibutuhkan syarat yang perlu diajukan dalam perumusannaya, diantaranya:
a. Materi yang tersusun tidak menyalahi fitrah manusia.
b. Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagai upaya mendekatkan diri dan ibadah kepada Allah SWT, dengan penuh ketakwaan dan keikhlasan.
c. Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia peserta didik.
d. Perlunya membawa peserta didik kepada obyek empiris, praktek lansung, dan memiliki fungsi pragmatis, sehingga mempunyai keterampilan-keterampilan yang riil.
e. Penyusunan kurikulum bersifat integral, terorganisasi, dan terlepas dari segala kontradiksi antara materi satu dengan materi lainnya.
f. Materi yang disusun mempunya relevansi dengan masalah-masalah yang mutakhir, yang sedang dibicarakan, dan relevan dengan tujuan Negara setempat.
g. Adanya metode yang mampu menghantar tercapainya materi pelajaran dengan memerhatikan perbedaan masing-masing individu.
h. Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan peserta didik.
i. Memperhatikan aspek-aspek social, misalnya dakwah Islamiyah
j. Materi yang disusun mempunyai pengaruh positif terhadap jiwa peserta didik, sehingga menjadikan kesempurnaan jiwanya
k. Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah, seperti memberikan waktu istirahat dan refresing untuk menikmati suatu kesenian
l. Adanya ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.


Setelah syarat-syarat itu terpenuhi, disusunlah kurikulum pendidikan Islam. Sebagaimana yang dikutip oleh Al-Abrasyi, Ibnu Kholdun membagi isi kurikulum pendidikan Islam dengan dua tingkatan:
a. Tingkatan pemula (manhaj ibtida’i)
Materi kurikulum pemula difokuskan pada pembelajaranAl-Qur’an dan As-Sunnah, Ibnu Kholdun memandang bahwa Al-Qur’an merupakan asal agama, sumber berbagai ilmu pengetahuan, dan asas pelaksanaan pendidikan Islam. Disamping itu mengingat isi Al-Qur’an mencakup materi penanaman akidah dan keimanan pada jiwa peserta didik, serta memuat akhlak mulia, dan pembinaan pribadi menuju perilaku yang positif.
b. Tingkat atas (manhaj ‘ali)
Kurikulum tingkat ini mempunyai dua kualifikasi, yaitu:
1) Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti ilmu syari’ah yang mencakup fikih, tafsir, hadits, ilmu kalam, ilmu bumi dan ilmu filsafat.
2) Ilmu-ilmu yang ditujukan untuk ilmu-ilmu lain, dan bukan berkaitan dengan dzatnya sendiri. Misalnya ; ilmu bahasa (linguistik), ilmu matematika, ilmu mantik (logika).


Al-Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam dengan empat kelompok dengan mempertimbangkan jenis dan kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu:
1) Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, misalnya; ilmu fikih, As-Sunnah, tafsir, dan sebagainya.
2) Ilmu-ilmu bahasa sebagai alat untuk mempelajari Al-Qur’an dan ilmu agama.
3) Ilmu-ilmu fardu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematika, industry, pertanian, teknologio, dan sebagainya.
4) Ilmu-ilmu cabang yang merupakan cabang ilmu filsafat.


Selain itu Ibnu Sina membagi ilmu pengetahuan pada dua jenis, yaitu:
1. Ilmu nadhari (teoritis) yaitu ilmu alam dan ilmu riyadhi ( ilmu urai atau matematika) dan ilmu ilahi (ketuhanan) yaitu ilmu yang mengandung I’tibar tentang wujud kejadian alam dan isinya melalui penganalisaan yang jelas dan jujur sehingga diketahui siapa penciptanya.
2. Ilmu amali (praktis), yaitu ilmu yang membahas tingkah laku manusia yang dilihat dari segi tingkah laku individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu akhlak, ilmu siasat (politik), filsafat dan berbagai cabangnya yang bertujuan mengetahui hakikat segala sesuatu menurut kemampuan akalnya.[6]
Klasifikasi isi kurikulum tersebut berpijak pada kalsifikasi ilmu pengetahuan dengan tiga kelompok, yaitu:
1) Kelompok menurut kuantitas yang mempelajari:
a) Ilmu Fardu ‘Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim yang bersumber dari kitab Allah SWT.
b) Ilmu Fardu Kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagaian orang muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi, misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik pertanian, industry, dan sebagainya.


2) Kelompok menurut fungsinya:
a) Ilmu tercela (Madzmumah), yaitu ilmu yang tidak berguna untuk masalah dunia dan maslah akhirat, serta menimbulkan kerusakan, misalnya sihir, nujun, dan perdukunan.
b) Ilmu terpuji (Mahmudah), yaitu ilmu-ilmu agama yang dapat menyucikan jiwa dan menghindarkan hal-hal yang buruk, serta ilmu yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT.
c) Ilmu terpuji dalam batas-batas tertentu, dan tidak boleh dipelajari secara mendalam, karena mendatangkan ateis (ilhad) seperti ilmu filsafat.


3) Kelompok menurut sumbernya:
a) Ilmu syari’ah, yaitu ilmu-ilmu yang didapat dari wahyu Ilahi dan dari sabda nabi.
b) Ilmu ‘aqliyah, yaitu ilmu yang berasal dari akal pikiran setelah mengadakan eksprimen akulturasi.


Isi kurikulum yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, masih mencerminkan dikotomi keilmuan dan masih membeda-bedakan ilmu dari Allah dan ilmu produk manusia. Padahal dalam epistemology Islam dinyatakan bahwa semua ilmu itu merupakan produk Allah semata, sedangkan manusia hanya menginterpretasikannya. Untuk itu Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag dan Dr. Jusuf Mudzakkir, M.Si dalam bukunya menawarkan isi kurikulum pendidikan Islam dengan tiga orientasi, yang berpijak pada firman Allah SWT surah Fusshilat ayat 53 :
OÎgƒÎã\™ $uZÏF»tƒ#uä ’Îû É-$sùFy$# þ’Îûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ‘,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« Íky­ ÇÎÌÈ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan kami) disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri mereka (anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ?” (QS. Fusshilat: 53 )
Ayat tersebut terkandung tiga isi kurikulum pendidikan Islam,yaitu:
a) Isi kurikulum yang berorientasi pada “ketuhanan”. Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan ketuhanan, mengenal dzat, sifat, perbuatan-Nya, dan relasinya terhadap manusia dan alam semesta. Bagian ini meliputi ilmu kalam, ilmu metafisika alam, ilmu fiqh, ilmu akhlak (tasawuf), ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah (tafsir, mushtholah, linguistic, ushul fiqh, dan sebagainya). Isi kurikulum ini berpijak pada wahyu Allah SWT.
b) Isi kurikulum yang berorientasi pada “kemanusiaan”. Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan perilaku manusia, baik manusia sebagai makhluk individu, makhluk social, makhluk berbudaya dan makhluk berakal. Bagian ini meliputi ilmu politik, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, antropologi, sejarah linguistik, seni, arsitek, filsafat, psikologi, paedagogis, biologi, kedokteran, pedagangan, komunikasi, administrasi, matematika, dan sebagainya. Isi kurikulum ini berpijak pada ayat-ayat anfusi.
c) Isi kurikulum yang berorientasi pada “kealaman”. Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan fenomena alam semesta sebagai makhluk yang diamanatkan dan untuk kepentingan manusia. Bagian ini meliputi ilmu fisika, kimia, pertanian, perhutanan, perikanan, farmasi, astronomi, ruang angkasa, geologi, geofisika, botani, zoology, biogenetik, dan sebagainya. Isi kurikulum ini berpijak pada ayat-ayat afaqi.


4. Sistem Penjenjang Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam bersifat dinamis dan kontinu (berkesinambungan), disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan khusus, terutama masalah kemampuan inteligensi dan mental paserta didik. Untuk itu sistem penjenjangan kurikulum pendidikan Islam berorientasi pada kemampuan, pola, irama, perkembangan dan kematangan mental peserta didik. Dari sini dapat ditentukan bobot materi yang diberikan, misalnya: [7]
a) Untuk tingkat Dasar (Ibtidaiyah), bobot mareri hanya menyangkut pokok-pokok ajaran Islam, misalnya masalah akidah (rukun iman), masalah syari’ah (rukun Islam), dan masalah akhlak (rukun Ihsan).
b) Untuk tingkat Menengah Pertama (Tsanawiyah), bobot materi mencakup materi yang diberikan pada jenjang dasar dan ditambah dengan argument-argumen dari dalil naqli dan dalil aqli.
c) Untuk tingkat Menengah Atas (Aliyah), bobot materinya mencakup bobot materi yang diberikan pada jenjang Dasar dan jenjang Menengah Pertama ditambah dengan hikmah-hikmah dan manfaat dibalik materi yang diberikan.
d) Untuk timgkat Perguruan Tinggi (Jami’iyah), bobot materinya mencakup bobot materi yang diberikan ketika jenjang Dasar, Menengah Pertama, Menengah Atas dan ditambah dengan maateri yang bersifat ilmiah dan filosofis.


C. PENUTUP
Dari tahun ke tahun kurikulum akan terus berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan pemikiran manusia. Namun bagaimana cara mengatasi perubahan tersebut, hal ini sangat tergantung kepada kecermatan pengembang kurikulum itu sendiri. Satu hal yang harus dan mesti diperhatikan adalah bagaimana lembaga pendidikan Islam dapat mengantisipasi masalah ini, tanpa melupakan esensi ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri serta mampu menjawab tantangan era globalisasi. Dimana hakekat kurikulum dalam pendidikan Islam yang sebenarnya adalah eksistensi kurikulum sebagai parameter operasionalisasi proses belajar mengajar. Oleh karenanya kurikulum tidak mempunyai makna apabila tidak dilaksanakan dalam suatu institusi dan tidak ada timbal balik antara pendidik disuatu sisi dengan peserta didik di sisi lain.


DAFTAR RUJUKAN


Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008.


Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya. 2008.
Armai Arief. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. 2002.


Hasan Basri dan BenI Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II). Bandung: Pustaka Setia. 2010.


Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2008.


Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2011.





[1] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana, 2008), h, 121.

[2] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet I, h, 33.

[3] Hasan Basri dan BenI Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam (jilid II). (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h, 182.

[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2008), h. 53

[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h, 168.

[6] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 205

[7]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. cit., h. 154-155



Baca Artikel Terkait: